A.
Konversi, Modifikasi
Internal, dan Suplesi
Selain proses afiksasi, reduplikasi,
dan komposisi, masih ada proses lain dalam pembentukan kata Bahasa Indonesia.
Proses tersebut adalah konversi, akronimisasi, dan penyerapan. Namun, kalau
ketiga proses yang pertama betul-betul merupakan proses mekanisme gramatikal,
sedangkan ktiga yang terakhir tidak seluruhnyamerupakan masalah gramatikal,
karena prosesnya tidak mudah dikaidahkan dan juga produktivitasnya sangat
rendah. Ketiganya akan dibicarakan pada subbab-subbab berikut.
a)
Konversi
Konversi
lazim juga disebut derivasi zero, transmutasi,
transposisi adalah proses pembentukan kata dari sebuah dasar berkategori
tertentu menjadi kata berkategori lain, tanpa mengubah bentuk fisik dari dasar
itu
( Abdul
Chaer : 2008 : 235 ).
Contohnya
:
(1)
petani membawa cangkul ke sawah
(2) cangkul dulu tanah itu, baru ditanami
Jadi,
kalimat pertama yang bermodus deklaratif pada kata cangkul berkategori nomina; sedangkan pada kalimat kedua yang
bermodus imperatif pada kata cangkul
berkategori verba.
Sebuah
nomina tanpa perubahan fisik menjadi sebuah verba, walaupun dalam modus kalimat
yang berbeda. Hal ini disebabkan pada kata cangkul
dan sejumlah kata lainnya disamping memiliki komponen makna (bendaan) juga
memiliki komponen makna (alat) dan (tindakan). Komponen makna tindakan inilah
yang menyebabkan kata cangkul itu
dalam kalimat imperatif menjadi berkategori verba. Namun berbeda lagi dengan
kata pisau yang memiliki komponen
makna (bendaan) dan (alat). Ketiadaan komponen makna (tindakan) pada kata pisau itu tidak bisa digunakan sebagai
verba dalam kalimat imperatif (
Abdul Chaer : 2008 : 236 ).
b)
Modifikasi
internal
Proses
morfologis yang disebut modifikasi intern jarang terdapat pada bahasa-bahasa di
dunia. Modifikasi internal biasanya terjadi karena ada perubahan pada bagian
dalam morfem. Istilah “modifikasi intern” dipinjam dari istilah Inggris
internal modification. Yang dimaksudkan di sini ialah perubahan vocal, misalnya
dalam proses morfemis kata-kata Arab tertentu. Modifikasi demikian kita temukan
pula dalam banyak bahasa Indo-Eropa, dalam kata kerja “kuat” misalnya, seperti
dalam bahasa Inggris: sing-sang-sung, take-took-taken, dan lainnya. Alasan
untuk menolak penafsiran modifikasi intern sebagai proses morfemis dalam
contoh-contoh tadi cukup meyakinkan. Seandainya kita tafsirkan demikian, maka
secara konsekuen harus kita simpulkan pula bahwa ada morfem akar m-nd-r,
b-l-k, -ayur, dan untuk hal itu tidak ada paralel dalam morfologi bahasa
Indonesia. Modifikasi internal juga sering disebut pembentukan kata
dengan mengubah vokal bentuk dasar ( Abdul Chaer : 2008 ).
Misalnya:
drink + past → drank
food + plural → feet
Misalnya:
drink + past → drank
food + plural → feet
c)
Suplesi
Suplesi, dalam proses suplesi perubahanya sangat ekstrem karena ciri-ciri bentuk dasar tidak atau hampir tidak tampak lagi, boleh dikatakan bentuk dasar itu berubah total. Misalnya, bentuk lampau dari kata inggris go yang menjadi went
( Abdul Chaer : 2008 ).
Suplesi, dalam proses suplesi perubahanya sangat ekstrem karena ciri-ciri bentuk dasar tidak atau hampir tidak tampak lagi, boleh dikatakan bentuk dasar itu berubah total. Misalnya, bentuk lampau dari kata inggris go yang menjadi went
( Abdul Chaer : 2008 ).
1. Pemendekan
Pemendekan
adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga
menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna utuhnya ( Abdul Chaer : 2008 ).
Dalam berbagai kepustakaan, hasil proses pemendekan ini biasanya dibedakan atas penggalan, singkatan, dan akronim. Yang di maksud dengan penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari bentuk yang dipendekan itu. Misalnya, dok dari bentuk dokter, perpusdari bentuk perpustakaan.
Dalam berbagai kepustakaan, hasil proses pemendekan ini biasanya dibedakan atas penggalan, singkatan, dan akronim. Yang di maksud dengan penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari bentuk yang dipendekan itu. Misalnya, dok dari bentuk dokter, perpusdari bentuk perpustakaan.
Yang
dimaksud dengan singkatan adalah hasil proses pemendekan, yang antara lain
berupa:
a) Pengekalan huruf awal dari sebuah leksem, atau huruf-huruf awal dari gabungan leksem. Misalnya: DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
b) Pengekalan beberapa huruf dari sebuah leksem. Misalnya: bhs (bahasa)
a) Pengekalan huruf awal dari sebuah leksem, atau huruf-huruf awal dari gabungan leksem. Misalnya: DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
b) Pengekalan beberapa huruf dari sebuah leksem. Misalnya: bhs (bahasa)
c) Pengekalan
huruf pertama dikombinasi dengan penggunaan angka untuk pengganti huruf yang
sama. Misalnya: P3 (partai persatuan pembangunan)
d) Pengekalan dua, tiga, atau empat huruf pertama dari sebuah leksem.
Misalnya : Okt (oktober).
e) Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir dari sebuah leksem.
Misalnya : Ir (insinyur)
d) Pengekalan dua, tiga, atau empat huruf pertama dari sebuah leksem.
Misalnya : Okt (oktober).
e) Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir dari sebuah leksem.
Misalnya : Ir (insinyur)
2.
Produktifitas
proses morfemis
Produktifitas
proses morfemis adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu, terutama
afiksasi,reduplikasi,dan komposisi, digunakan berulang-ulang yang secara
relatif tak terbatas, artinya ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan
proses tersebut. Proses infektif atau paradigmatis, karena tidak membentuk kata
baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasarnya, tidak
dapat dikatakan proses yang produktif ( Abdul Chaer : 2008 ).
3.
Akronimisasi
Akronimisasi adalah proses pembentukan sebuah
kata dengan cara menyingkat sebuah konsep yang direalisasikan dalam sebuah
konstruksi lebih dari sebuah kata. Pada proses ini akan menghasilkan sebuah
kata yang disebut dengan akronim.
Jadi, sebetulnya akronim adalah juga sebuah singkatan, namun yang
“diperlakukan” sebagai sebuah kata atau sebuah butir leksikal
( Abdul Chaer : 2008 : 236 ).
( Abdul Chaer : 2008 : 236 ).
Contohnya :
Pilkada → pemilihan kepala daerah
Jabodetabek → Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi
Balita → bayi lima tahun
Beberapa aturan yang digunakan dalam
akronimisasi, antara lain :
·
Pengambilan
huruf-huruf (fonem-fonem) pertama dari kata yang membentuk konsep tersebut.
Misalnya :
-
STKIP → Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
-
ABRI → Sngkatan Bersenjata Republik Indonesia
-
PSSI → Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia
·
Pengambilan
suku kata pertama dari semua kata yang membentuk konsep tersebut. Misalnya :
-
Balita → bayi lima tahun
-
Pujasera → pusat jajanan serba ada
-
Puskesmas → pusat kesehatan masyarakat
·
Pengambilan
suku kata pertama ditambah dengan huruf pertama dari suku kata kedua dari
setiap kata yang membentuk konsep tersebut. Misalnya :
-
Warteg
→ warung tegal
-
Kalbar → Kalimantan Barat
-
Sulsel → Sulawesi Selatan
·
Pengambilan
suku kata yang dominan dari setiap kata yang mewadahi konsep tersebut. Misalnya
:
-
Tilang → bukti pelanggaran
-
Bintal → pembinaan mental
-
Gakin → keluarga miskin
·
Pengambilan
suku kata tertentu disertai dengan modifikasi yang tampaknya tidak beraturan;
namun, masih dengan memperhatikan “keindahan” bunyi. Misalnya :
-
Pilkada → pemilihan kepala daerah
-
Kloter → kelompok terbang
-
Unila → Universitas Negeri Lampung
·
Pengambilan
unsur-unsur kata yang mewadahi konsep tersebut, tetapi sukar disebutkan
keteraturannya termasuk di seni. Misalnya :
-
Sinetron → sinema elektronik
-
Satpam → satuan pengamanan
-
Kalapas → kepala lembaga pemasyarakatan
4. Penyerapan
Penyerapan
adalah proses pengambilan kosakata dari bahasa asing, baik bahasa asing Eropa
(seperti bahasa asing Belanda, bahasa Inggris, bahasa Portugis, dan
sebagainya), maupun bahasa asing Asia (seperti bahasa Arab, bahasa Parsi,
bahasa Sansakerta, bahasa Cina, dan sebagainya). Termasuk dari bahasa Nusantara
(seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Bali, dan sebagainya)
( Abdul Chaer : 2008 : 239 ).
Didalam sejarahnya penyerapan
kosakata asing berlangsung secara audial, artinya melalui pendengaran : orang
asing mengucapkan kosakata asing ini, lalu orang Indonesia menirukannya, sesuai
dengan yang didengarkannya. Karena sistem fonologi bahasa asing itu berbeda
dengan sistem fonologi bahasa yang dimiliki orang Indonesia, maka bunyi ujaran
bahasa asing ditiru menurut kemampuan lidah melafalkannya. Sebagai contoh
bahasa Belanda pada kata domme krach
dilafalkan menjadi dongkrak, bahasa
Sansakerta utpatti dilafalkan menjadi
upeti, bahasa Arab pada kata mudharat dilafalkan menjadi melarat, dan bahasa Portugis pada kata almari dilafalkan menjadi lemari ( Abdul Chaer : 2008 : 239 ).