Selasa, 27 Maret 2018

PRASYARAT WACANA

Suatu wacana dapat dikatakan sempurna apabila terdiri dari unsur-unsur yang lengkap, diantaranya adalah memiliki topik, kesatuan dan kepaduan, serta terdapat kalimat yang berhubungan. Jika wacana tersebut tidak memenuhi beberapa syarat diatas, bisa dikatakan bahwa wacana tersebut jelek atau tidak sempurna.

  Berikut akan dijelaskan mengenai prasyarat suatu wacana, diantaranya sebagai berikut :

Kohesi
Kohesi adalah keterikatan antar unsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana yg ditandai antara lain konjungsi, pengulangan, penyulihan, dan pelesapan. (kbbi offline).
Kategori kohesi yaitu:

a.       Pronomina (kata ganti)
Pronomina terdiri atas kata ganti diri, kata ganti penunjuk, kata ganti empunya, kata ganti penanya, kata ganti penghubung.
Contoh:
•         Kata ganti diri
Saya, aku, kita dan kami
•         Kata ganti penunjuk
Ini, itu, sini, situ dll
•         Kata ganti empunya
-ku, -mu, -nya, -kami, -kamu, -kalian.
•         Kata ganti penanya
Apa, siapa, mana
•         Kata ganti pengubung
Yang,
•         Kata ganti tak tentu
Siapa-siapa, masing-masing, sesuatu, seseorang, para.

b.      Substitusi (penggantian)
Substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu. Substitusi meupakan hubungan gramatikal, lebih bersifat hubungan kata dan makna. Substitusi dalam bahasa indonesia  dapat bersifat nominal, verbal, klausa, atau campuran; misalnya satu, sama, seperti itu, sedemikian rupa, demikian, begitu, melakukan hal yang sama.

c.       Elipsis
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lainyang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984:45 dalam Tarigan 2009: 97). Elipsis dapat pula dikatakan pengantian nol (Zero); sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Hal ini dilakukan demi kepraktisan. Elipsis dapat pula dibedahkan atas elipsis nominal, elipsis verbal, elipsis klausa.

d.      Konjungsi
Konjugsi adalah yang dipergunakan untuk mengabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kaliat dengan kalimat atau paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984:105 dalam Tarigan 2009:97)
Konjugsi dalam bahasa indonesia dapat dikelompokan atas:
a.       Konjugsi adfersatif : tetapi, namun
b.      Konjugsi klausal : sebab, karena
c.       Konjugsi koordinatif : dan, tetapi,
d.      Konjugsi koloratif : entah/entah, baik/maupun
e.       Konjugsi subordinatif : sebelum, sesudah
e.       Leksikal

Kohesi leksikal diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi, antara lain:
a.       Pengulangan (repetisi) kata yang sama: pemuda-pemuda
b.      Sinonim : pahlawan - perjuangan
c.       Antonim : putra – putri
d.      Hiponim : angkutan darat – kereta api, bis
e.       Kolokasi : buku, koran, majalah- media masa
f.       Ekuivalensi : belajar, mengajar, pelajar, pengajar, pengajaran.

Koherensi
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi dapat berhubungan ketika seseorang menghubungkannya.

Contohnya, Proporsi : “demonstrasi mahasiswa“ dan “nilai tukar rupiah melemah“ adalah dua fakta yang berlainan. Dua buah kalimat itu menjadi berhubungan sebab akibat ketika ia dihubungkan dengan kata hubung “mengakibatkan“ sehingga kalimatnya menjadi “demostrasi mahasiswa mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah“. Dua buah kalimat itu menjadi tidak berhubungan ketika dipakai kata hubung “dan“, dimana kalimatnya kemudian menjadi “demonstrasi mahasiswa dan nilai tukar rupiah melemah”. Dalam kalimat ini, antara fakta banyaknya demonstrasi dan nilai tukar rupiah dipandang tidak saling berhubungan, kalimat satu tidak menjelaskan kalimat lain atau menjadi penyebab kalimat lain. Jadi kesimpulannya koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. (Eriyanto: 2001: 242).

Koherensi ini secara mudah dapat diamati diantaranya dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta. Apakah dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal (sebab-akibat), hubungan keadaan, waktu, kondisi, dan sebagainya. Serta koherensi memberi kesan kepada khalayak bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan.

Topik
Topik adalah sesuatu yang dibicarakan dalam kalimat. Topik merupakan atau argumen dalam suatu proposisi.  Paragraf  biasanya memiliki satu topik atau tema utama, bahkan mungkin memiliki beberapa subtopik lagi. Dan secara keseluruhan, wacana memiliki banyak topik, salah satunya  ada yang diutamakan, yaitu topik atau tema. Pada tingkat kalimat, istilah ini selalu merujuk pada masalah subjek kalimat dan secara tradisional dihubungkan dengan tatabahasa. Tetapi sebenarnya tidaklah
demikian. Kalimat bisa saja memiliki lebih dari satu topik, meskipun salah satunya diberikan penonjolan lebih dari yang lainnya, melalui struktuk sintaksis.

Topik dapat menentukan sifat kewacanaan. Topik-topik berita menentukan struktur wacana sesuai dengan tuntutan topik berita. Topik ilmiah juga menuntut digunakannya wacana ilmiah. Ciri lugas dan argumentatif banyak ditemukan dalam wacana ilmiah, tetapi ciri informatif banyak ditemukan dalam wacana berita. Topik narasi juga menuntut digunakannya wacana narasi. Dalam wacana narasi itu pula banyak ditemukan bahasa yang berbunga-bunga atau gaya bahasa yang sedikit ditemukan dalam wacana lain (Darma:2009:6).

Contoh wacana :

ISPA di Indonesia
Seperti di negara berkembang lainnya, angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi. Seperempat sampai sepertiga dari kematian usia balita disebabkan oleh penyakit ISPA terutama pnemonia. Kejadian penyakit pnemonia di negara berkembang 10 s/d 15 kali lebih sering dibandingkan dengan di negara maju. Tingginya jumlah kejadian pnemonia ini disebabkan antara lain oleh faktor resiko, seperti berat badan lahir rendah (BBLR), gizi buruk, dan polusi di dalam rumah (dikutip dari LKS Bahasa Indonesia kelas IX SMP/MTS/Sederajat).

Kalimat diatas merupakan contoh dari wacana, karena terdiri dari unsur dan ciri yang lengkap, serta memenuhi prasyarat wacana. Terdapat sebuah topik yang diangkat yaitu penyakit ISPA yang menyebar secara cepat di Indonesia. Topik yang diangkat biasanya masih hangat diperbincangkan oleh kalangan masyarakat serta memiliki informasi yang dbutuhkan pembacanya. Disisi lain juga terdapat kesatuan dan kepaduan yaitu terdapat kohesi dan koherensi didalamnya. Misalkan saja pada kalimat “Seperti di negara berkembang lainnya, angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi. Seperempat sampai sepertiga dari kematian usia balita disebabkan oleh penyakit ISPA terutama pnemonia”, terdapat konjungsi dan yang menghubungkan antar kalimat; substitusi seperti yang menjadi pengganti kalimat layaknya atau kemiripan; serta pronomina yakni pada kata bayi dan lainnya. Sementara koherensi, yaitu pada kalimat “...angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi. Seperempat sampai sepertiga dari kematian usia balita disebabkan oleh penyakit ISPA terutama pnemonia”. Dari kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwasanya terdapat hubungan sebab-akibat antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain yang terjalin dalam satu kesatuan utuh.

 Daftar Pustaka
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS
Tarigan, Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa
Yoce Aliah Darma, Hajjah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya
Tim Penyusun.  2008. Kamus Besar Bahasa Indoenesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia
Tim penyusun. LKS Bahasa Indonesia kelas IX SMP/MTS/Sederajat. Jombang: MGMP



(Dipublish oleh Puput Shoimatur R, 166117, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015).

Selasa, 20 Maret 2018

HAKIKAT DAN KEDUDUKAN WACANA DALAM LINGUISTIK


A .    Hakikat Wacana
Sering sekali kita mendengar tentang wacana, namun terkadang kita tidak paham bagaimana hakikat wacana itu sendiri. Istilah wacana telah dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya. Dalam pembelajaran, wacana merupakan disiplin ilmu baru. Menurut Chaer (2007:265) menyebutkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hirarki bahasa merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana sebagai satuan gramatikal yang lengkap, harus terdapat konsep, gagasan, pikiran, dan ide yang utuh, yang akan dipahami oleh pembaca dalam bentuk wacana lisan dan oleh pendengar dalam bentuk wacana lisan.

Untuk lebih dapat memahami suatu wacana, maka yang perlu kita lakukan adalah mengetahui ciri-ciri dari wacana. Diantaranya :
a.         Terdiri dari satuan gramatikal
b.        Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
c.         Untaian kalimat-kalimat
d.        Memiliki hubungan preposisi (kata depan)
e.         Memiliki hubungan koherensi
f.         Memiliki hubungan kohesi
g.        Medium bisa lisan maupun tulis.

Selain itu juga terdapat sifat-sifat sebuah wacana, antara lain :
1)                 Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.
2)                 Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek)
3)                 Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya.
4)                 Wacana memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu.
5)                 Wacana dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental. (Darma:2009:3)

Fungsi wacana yang utama adalah untuk menyampaikan informasi kepada pembaca maupun pendengar. Fungsi wacana dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu secara transaksional dan intruksional. Secara transaksional adalah bahwa sebuah wacana adalah uraian yang tersusun dari satuan gramatikan yang berfungsi untuk menyampaikan informasi berupa ide, gagasan, maupun menguraikan sebuah topik permasalahan. Sedangkan secara intruksional adalah bahwa wacana berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai ide atau gagasan yang disampaikan kepada pembaca ataupun pendengar. Funsi intruksional memberikan petunjuk atau arahan kepada pembaca atau pendengar, fungsi ini diimplementasikan pada jenis wacana persuasive.

B.       KEDUDUKAN WACANA

1.  Analisis “Wacana” dengan “Fonologi”
Abdul Chaer (2007:102) menjelaskan bahwa fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Wacana adalah kajian yang meneliti dan mengkaji bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Hubungan antara fonologi dan wacana adalah sebagai berikut:
a.         Fonologi maupun wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya, hanya saja perbedaannya adalah fonologi mengkaji struktur bahasa (khususnya bunyi bahasa) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Fonologi merupakan tataran terkecil dalam Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang bunyi-bunyi bahasa sangat diperlukan sebab Fonologi merupakan dasar dari ilmu bahasa lainnya.
b.        Fonologi dan Wacana sama-sama mengkaji bahasa dalam bentuk lisan, hanya saja yang membedakan adalah fonologi tidak mengkaji bahasa dalam bentuk tulisan sebab yang menjadi objeknya hanyalah bunyi-bunyi bahasa yang dikeluarkan oleh alat ucap manusia, sedangkan wacana mengkaji naskah-naskah yang berbentuk tulisan.

2.  Analisis “Wacana” dengan “Morfologi”
Wijana menjelaskan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan lingual yang disebut kata polimorfemik.

Hubungan Morfologi dengan Wacana adalah sebagai berikut:
a.         Morfologi dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja, sama dengan Fonologi, morfologi juga mengkaji struktur bahasa (khususnya pembentukan kata) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Morfologi merupakan tataran terkecil kedua dalam Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kata sangat dibutuhkan sebab Wacana yang berbentuk naskah itu terbentuk dari susunan kata demi kata yang memiliki makna.
b.        Morfologi yang mempelajari seluk beluk pembentukan kata sangat berhubungan dengan Wacana karena dalam Wacana harus tepat dalam memilih kata-kata sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Wacana tersebut.

3.  Analisis “Wacana” dengan “Sintaksis”
Ramlan menjelaskan bahwa sintaksis adalah cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Sedangkan Kridalaksana dalam Tarigan (1984:208) menjelaskan bahwa wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.) paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

Hubungan antara Sintaksis dengan Wacana adalah sebagai berikut:
a.         Sintaksis dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja, sama dengan Fonologi dan morfologi, Sintaksis juga mengkaji struktur bahasa (khususnya pembentukan kalimat) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Sintaksis merupakan tataran terkecil ketiga dalam Wacana.
b.        Sintaksis yang mempelajari seluk beluk pembentukan kalimat sangat berhubungan dengan Wacana karena Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kalimat sangat dibutuhkan. Sebuah Wacana dapat dikatakan baik apabila hubungan antara kalimat-kalimatnya kohesi dan koheren.

4.  Analisis “Wacana” dengan “Semantik”
George dalam Tarigan (1964:1), secara singkat dan populer menjelaskan bahwa semantik adalah telaah mengenai makna. Hubungannya dengan Wacana adalah baik Semantik maupun Wacana sama-sama mengkaji makna bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja perbedaannya adalah Semantik mengkaji makna leksikal bahasa (makna lingistik), sedangkan Wacana mengkaji makna kontekstual atau implikatur dari ujaran-ujaran atau teks-teks.

5.  Analisis “Wacana” dengan “Pragmatik”
Levinson dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu. Hubungan antara “Pragmatik” dan “Wacana” adalah sama-sama mengkaji makna bahasa yang ditimbulkan oleh konteks.

6.  Analisi “Wacana” dengan “Filologi”
Filologi adalah bahasa, kebudayaan, dan sejarah bangsa yang terekam dalam bahan tertulis seperti peninggalan naskah kuno linguistik, sejarah dan kebudayaan. Hubungan Wacana dengan Filologi adalah: Filologi dan wacana sama-sama mengkaji bahasa dalam bentuk teks atau naskah. Perbedaan keduanya terletak pada tema atau topik teks atau naskah tersebut. Filologi mengangkat topik yang khusus membahas tentang sejarah sedangkan Wacana mengangkat topik yang lebih umum dari segala aspek sosial kehidupan bermasyarakat.

7.  Analisis “Wacana” dengan “Semiotika”
Semiotika adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna bahasa yang ditimbulkan dari tanda-tanda bahasa. Hubungannya dengan wacana adalah, baik wacana maupun semiotika sama-sama mengkaji tentang makna bahasa. Hanya saja, semiotika mengkaji makna bahasa berdasarkan ikon, symbol ataupun indeks sedangkan wacana mengkaji makna tuturan maupun ujaran-ujaran yang dihasilkan oleh masyarakat tutur.

8.  Analisis Wacana dengan Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai bagaimana penggunaan bahasa dan perolehan bahasa oleh manusia. Dari defenisi ini, terlihat ada dua aspek yang berbeda, yaitu pertama perolehan yang menyangkut bagaimana seseorang, terutama anak-anak belajar bahasa dan kedua adalah penggunaan yang artinya penggunaan bahasa oleh orang tua normal. Hubungannya dengan Wacana adalah dalam penyususnan wacana, topik atau tema yang diangkat ataupun ujaran-ujaran yang dihasilkan berdasarkan kondisi Psikis manusia. Kondisi Psikis ini merupakan salah satu konteks yang dapat mendukung peneliti dalam memaknai suatu ujaran.

9.  Analisis Wacana dengan Sosiolinguistik
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Hubungannya dengan wacana adalah baik wacana maupun sosiolinguistik sama-sama menitiberatkan bahasa dalam sebuah konteks. Perbedaannya adalah wacana mengkaji ujaran (bahasa) yang dihasilkan oleh masyarakat sedangkan sosiolinguistik menitiberatkan pada masyarakat pengguna bahasa.

Contoh Wacana
Burung merpati adalah salah satu hewan tersukses di dunia, karena burung jenis ini ditemui di seluruh belahan dunia kecuali Antartika. Di daerah Boja, burung merpati hidup berdampingan dengan manusia sebagai hewan peliharaan.
Contoh diatas merupakan suatu wacana karena memiliki satu kesatuan yang terdiri dari beberapa kalimat yang berkesinambungan serta memiliki maksud, tujuan, serta informasi bagi pembacanya.

Daftar Pustaka
Sumber :Chaer, Abdul. Linguistik Umum. 2007. Jakarta: Rineka Cipta.
Nunan, David. 1993. Introducing Discourse Analisis. London : Penguin English.
Tarigan, Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Angkasa : Bandung
Yoce Aliah Darma, Hajjah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya