Selasa, 17 April 2018

KAJIAN WACANA BAHASA INDONESIA


Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berarti pelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam). Sedangkan wacana menurut Harimurti Kridalaksana ( 1985: 184 ) adalah satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahasa tertinggi dan terbesar. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan. Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.
Ada enam ancangan kajian wacana, diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori analisis variasi.
1.      Kajian Pragmatik
Kajian wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan secara singkat dalam berkomunikasi.
Penawaran pragmatik model Grice dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) pada analisis wacana memandang bagaimana asumsi partisipan terdiri atas konteks kerja sama untuk komunikasi (satu konteks termasuk pengetahuan teks, dan situasi) memberi kontribusi makna, dan bagaimana asumsi tersebut membantu menciptakan tahapan pola bicara.
Pragmatik model Grice pada acuan peristilahan dalam sebuah cerita bermakna bahwa analisis tersebut dibantu atau ditunjukkan dalam bagian besar dan tahapan acuan yang ada dalam cerita, dari pada mengusulkan relevansi yang abstrak antara maksim-maksim dan mencoba menemukan contoh-contoh yang memperkuat relevansi tersebut.
2.      Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.
3.      Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic.Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.Kami melihat bahwa unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural: “unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasi evaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berulang (Deborah Schiffrin 2007: 426)
4.      Teori Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya..
Dari literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1.      Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.      Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3.      Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.
4.      Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit.Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu. Bahkan tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu pada komunikasi.Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.
5.      Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.Fokus lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu.Rohmadi mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying something.Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami
6.      Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1.   Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif.Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi
2.   Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tuturimpositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba.
3.   Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tuturevaluatif.Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”.Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
4.   Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul.
5.    Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati.Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan.
5.      Kajian Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang semestinya.Akan tetapi, definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian ini, Deborah(2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional.Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Bahwa sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna atau penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna.Mencoba menemukan penempatan makna dan mencari bagaimana makna tersebut memberi kontribusi ke arah proses dan pemerolehan interaksi.
6.      Kajian Analisis Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu pendekatan analisis wacana (Achmad, 2006:11). Pendekatan ini telah dipopulerkan oleh ahli sosiologi Garfinkel berdasarkan ancangan etnometodelogi dan kemudian diterapkan dalam analisis percakapan oleh Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP berbeda dengan cabang sosiologi karena bukan hanya mengalisis aturan sosial tapi juga mencari dan menemukan cara atau metode yang digunakan anggota masyarakat untuk menghasilkan makna aturan sosial. Analisis percakapan merupakan sebuah ancangan wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks, berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang memperlihatkan adanya urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada masalah aturan sosial yaitu bagaimana bahasa menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial, di samping pengetahuan manusia yang tidak terbatas pada pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada dan digunakan. Ringkasnya, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat pemakainya, sehingga perlu dianalisis.

Daftar Pustaka
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Selasa, 03 April 2018

Teks, Koteks, dan Konteks

Wacana adalah aspek kajian yang sangat luas, artinya kebahasaan yang lebih besar dari pada kalimat dan klausa dan mempunyai hubungan antara unit kebahasaan yang satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain, kajian wacana merupakan satuan bahasa yang kompleks dalam hirarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana yang utuh. Adapun unsur-unsur yang terkait dengan kajian wacana ini di antaranya, yaitu teks, koteks, dan konteks. Berikut akan dijabarkan mengenai perbedaan teks, koteks, serta konteks.

1. Teks
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3)  ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Menurut Eriyanto (2001:9) teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, ambar, efek suara, citra dan sebaainya. Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks itu terdapat di balik teks. Teks memiliki kesatuan dan kepaduan antara isi yang ingin disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi kondisi yang ada. Dengan kata lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa bahasa yang di dalamnya terdiri dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi kondisi penggunaannya.

2. Koteks
Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat “Selamat Datang” dan “Selamat Jalan” yang terdapat di pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan. Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan” merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya, yaitu “Selamat Datang”. Kalimat “Selamat Datang” dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu “Selamat Jalan”, begitu juga sebaliknya. Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Koteks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya.

3. Konteks
Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian (KBBI Offline). Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Eriyanto (2001:9) berpendapat bahwa konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, sungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks yang bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks. Teks yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya teks-teks yang dilisankan dan yang ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya atau keseluruhan lingkungan teks itu. Selain itu, konteks juga dianggap sebagai penyebab terjadinya suatu pembicaraan atau interaksi komunikasi.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39) memberi penjelasan lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks situasi, yaitu:
a)      Pembicara/Penulis (Addressor)
Pembiacara atau penulis adalah seseorang yang memproduksi/menghasilkan suatu ucapakan. Mengetahui si pembicara pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya. Umpanya saja seseorang mengatakan ‘operasi harus dilakukan’. Kalau kita ketahui si pembicara adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan ‘operasi’ adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi jika yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita kan paham bahwa yang dimaksud dengan operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar dari pemerintah untuk menyetabilkan harga. Beda pula ketika mengatakan adalah pencuri, perampok, dan polisi. Jadi, jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsikan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicaranya, maka akan sulitlah untuk memahami kata-kata yang diucapkan atau dituliskan.
b)      Pendengar/pembaca (Addresse)
Pendengar/pembaca adalah seseorang yang menjadi mitra tutur/baca dalam suatu berkomunikasi atau dapat dikatakan seseorang yang menjadi penerima (recepient) ujaran.. Kepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar, terhadap siapa ujaran tersebut ditujukan akan memerjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan berbeda pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.
c)      Topik pembicaraan (Topic)
Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan mudah bagi seseorang pendengar/pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan.
d)     Saluran (Channel)
Selain partisipan dan topic pembicaraan, saluran juga snagat penting di dalam menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat secara lisan atau tulisan.
e)      Kode (Code)
Kode yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau gaya bahasa seperti apa yang digunakan di dalam berkomunikasi. Misalnya, jika saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah dialek bahasa. Seseorang yang mengungkaplamn isi hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya akan meresa lebih bebas, akrab, dan lain sebagainya dibandingkan dengan mengguankan Bahasa Indonesia.
f)       Bentuk Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan ini bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa. Bentuk penyampaian pesan juga dapat beragam. Seperti lewat khotbah, drama, puisi, surat-surat cinta, dan lainnya.
g)      Peristiwa (Event)
Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara atau dipengadilan akan berbeda dengan peristiwa tutur di pasar.
h)      Tempat dan waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan hubungan antara keduanya, dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memerikan makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung; di pasar, di kantot, dan lainna. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung; pagi hari, siang hari, suasana santai, resmi, tegang, dan lainnya.

Contoh :
            “Bang 2, pedes”
Contoh dialog “Bang 2, pedes”  di atas, semisal pada abang penjual bakso. Jika pembeli mengatakan demikian dan si Abang penjual bakso memahaminya maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai wacana. Dengan teks berupa kalimat “Bang 2, pedes”. Sedangkan koteksnya berupa penjelas “2, pedes”, kemudian konteksnya mengacu pada situasi, dimana tidak ada lagi penjual bakso selain tukang bakso tersebut pembeli menghampiri tukang bakso tersebut. konteks berubah jika situasinya terdapat lebih dari satu tukang bakso dan pembeli tidak menghampiri tukang bakso yang dimaksudkan.

Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Mulyana.  (2005). Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Brown, Gillian dan Yule, George. (1984). Discaourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.