Kajian merupakan suatu kata yang berasal
dari kata “kaji” yang berarti pelajaran dan atau penyilidikan (tentang
sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian”
berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang
mendalam). Sedangkan wacana menurut Harimurti Kridalaksana ( 1985: 184 ) adalah
satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal
atau satuan bahasa tertinggi dan terbesar. Dari definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk
proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki
gramatikal.
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah
Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian
berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat
dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik,
psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya
hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks
situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas
tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah),
misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang
kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi),
tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan landasan itu,
seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai
kerangka acuan yang sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas
(community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya
secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu
merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika
dibutuhkan. Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes
merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu
dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan
kajian etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis
struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan
bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.
Ada enam ancangan kajian wacana,
diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori
etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori
analisis variasi.
1. Kajian
Pragmatik
Kajian wacana dengan pendekatan
pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan
memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan
mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model
Grace dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada
seperangkap prinsip umum tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang
mengatakan bagaimana penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan
informasi ysng ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan
dengan latar belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial
secara langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah
dikatakan secara singkat dalam berkomunikasi.
Penawaran pragmatik model Grice dalam
Deborah Schiffrin (2007: 269) pada analisis wacana memandang bagaimana asumsi
partisipan terdiri atas konteks kerja sama untuk komunikasi (satu konteks
termasuk pengetahuan teks, dan situasi) memberi kontribusi makna, dan bagaimana
asumsi tersebut membantu menciptakan tahapan pola bicara.
Pragmatik model Grice pada acuan
peristilahan dalam sebuah cerita bermakna bahwa analisis tersebut dibantu atau
ditunjukkan dalam bagian besar dan tahapan acuan yang ada dalam cerita, dari
pada mengusulkan relevansi yang abstrak antara maksim-maksim dan mencoba
menemukan contoh-contoh yang memperkuat relevansi tersebut.
2.
Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong
mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi
komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu
masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni,
religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin
(2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian
berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat
dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik,
psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya
hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks
situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas
tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah),
misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang
kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi),
tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan landasan itu,
seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai
kerangka acuan yang sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas
(community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya
secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu
merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika
dibutuhkan.
Konsep etnografi wicara di dalam
sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara
keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan
dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan
kajian etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis
struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan
bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.
3. Kajian
Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari
studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic.Walaupun analisis tersebut
secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada
varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah
teks.Kami melihat bahwa unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar
adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan
tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam
istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural:
“unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian
proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasi
evaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari
unit-unit dalam pola-pola berulang (Deborah Schiffrin 2007: 426)
4. Teori
Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech
act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat
pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis
topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur
percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang
tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dalam
arti yang sebenarnya..
Dari literatur pragmatik, dapat
dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat
psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya
itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech
event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak
tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional
dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan
kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga
peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1. Tindak
tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami
(pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2. Tindak
tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan
dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak
tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi
berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3. Tindak
tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang
lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.
4. Tindak
tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit.Menurut pendapat Austin ilokusi adalah
tindak melakukan sesuatu.Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud
dan fungsi atau daya tuturan. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan
hanya untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan
tertentu. Bahkan tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang
memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu pada
komunikasi.Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin,
mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.
5. Tindak
tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya
atau The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.Fokus lokusi
adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi
tuturan itu.Rohmadi mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan
kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa,
dan kalimat itu.Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying
something.Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi
karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan.
Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan
sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna dan dapat dipahami
6. Tindak
tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang
lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak
tutur menjadi lima kategori:
1.
Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran
atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak
tutur asertif.Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan,
menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan,
berspekulasi
2.
Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar
si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak
tutur direktif disebut juga dengan tindak tuturimpositif. Yang termasuk ke
dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa,
menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon,
menantang, memberi aba-aba.
3.
Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak
tuturevaluatif.Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang
disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih,
mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.Tuturan
“Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi
kebutuhan keluarga”.Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh
yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu
usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup
keluarga.
4. Komisif.
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah,
berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul.
5.
Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.Tindak tutur
ini disebut juga dengan istilah isbati.Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini
adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang,
mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan.
5. Kajian
Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan sosiolinguistik
interaksional ini bukan definisi yang semestinya.Akan tetapi, definisi di
pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau lebih
tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan
masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian ini, Deborah(2007: 125)
mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional.Deborah mengawali
dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Bahwa sosiolinguistik interaksional
memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna atau
penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada ditempatkanya inference (dugaan),
sedangkan Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk mendeskripsikan
dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan interpersonal yang memberikan
praduga untuk interpretasi makna.Mencoba menemukan penempatan makna dan mencari
bagaimana makna tersebut memberi kontribusi ke arah proses dan pemerolehan
interaksi.
6. Kajian
Analisis Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu
pendekatan analisis wacana (Achmad, 2006:11). Pendekatan ini telah dipopulerkan
oleh ahli sosiologi Garfinkel berdasarkan ancangan etnometodelogi dan kemudian
diterapkan dalam analisis percakapan oleh Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP
berbeda dengan cabang sosiologi karena bukan hanya mengalisis aturan sosial
tapi juga mencari dan menemukan cara atau metode yang digunakan anggota
masyarakat untuk menghasilkan makna aturan sosial. Analisis percakapan
merupakan sebuah ancangan wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks,
berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang
memperlihatkan adanya urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada
masalah aturan sosial yaitu bagaimana bahasa menciptakan dan diciptakan oleh
konteks sosial, di samping pengetahuan manusia yang tidak terbatas pada
pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada dan digunakan.
Ringkasnya, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat
pemakainya, sehingga perlu dianalisis.
Daftar Pustaka
Schiffrin,
Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar